Oleh: Rhugandanu Nhara (Heru)
Tak bisa dipungkiri bahwa lingkungan yang baik menghasilkan
masyarakat yang baik. Karena masyarakat yang baik peduli dengan cara merawat
lingkungannya. Dan kita dikelilingi oleh lingkungan yang buruk. Tetapi, apakah kita adalah
masyarakat yang buruk?
Pohon-pohon, gunung, sungai, lautan hingga
binatang-binatang yang hidup didalamnya, kesemuanya itu bisa kita sebut sebagai
lingkungan hidup. Tetapi apakah hal itu ada di sekitar kita? Saya kira tidak.
Hal itu sama sekali tidak kita pikirkan. Lingkungan yang kita lihat sehari-hari
kini hanyalah kendaraan bermotor
dan pabrik-pabrik yang melepaskan banyak sekali asap dan gas emisi ke udara, gedung-gedung tinggi, reklame dan spanduk-spanduk dimana-mana, yang jika kita perhatikan isi
dari hal-hal tersebut sesungguhnya hanya memikirkan isi perutnya sendiri. Bagaimana
bisa anda tidur nyenyak apabila sampah spanduk mengelilingi anda? Kita seharusnya memikirkan betapa pentingnya
lingkungan bagi kehidupan kita.
Apabila anda ditanya oleh seseorang,apa
itu lingkungan?
Kemungkinan yang pertama kali terpikir oleh anda adalah
warna hijau dan segala bentuknya yang terserah anda. Misalnya, anda berpergian
menaiki kereta api, mulai dari stasiun Jember menuju Surabaya, selama
perjalanan anda akan disuguhkan pemandangan yang barusan anda pikirkan, dan
biasanya itu membosankan. Tanah gersang, kadang kelabu, kadang kuning
keputihan. Kadang muncul kebun tembakau, kecil, dan hilang tersapu kelajuan.
Muncul lagi, kecil lagi, hilang lagi. Dan sawah dan sawah dan sawah, tanpa air,
ditanami palawija menjelang panen. Mungkin pemandangan tersebut mirip dengan
isi spanduk tadi, spanduk caleg
khususnya, tak ada yang menarik untuk dilihat. Sebagian
orang memang menikmati pemandangan itu, tapi sebagian orang tidak. Mereka lebih
memilih sibuk dengan lagu-lagu atau pesan singkat dari pasangannya di handphonenya.
Sampai di Surabaya, salah satu kota metropolitan di
Indonesia, yang juga kota terbesar nomor dua di Indonesia (setelah Jakarta tentunya)saat ini memiliki
walikota bernama Ibu Ir. Tri Rismaharini, M.T. Sebelum menjadi walikota, beliau adalah alumnus arsitektur ITS,
ahli di bidang tata lingkungan kota hingga menjabat sebagai Kepala Dinas
Kebersihan dan Pertamanan, dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya. Di masa kepemimpinannya
di DKP, bahkan hingga kini menjadi Walikota Surabaya, Kota Surabaya menjadi
lebih asri dibandingkan sebelumnya, lebih hijau dan lebih segar. Sederet taman
kota yang dibangun di era Tri Risma adalah pemugaran taman Bungkul di Jalan
Raya Darmo dengan konsep all-in-one entertainment park, taman di
Bundaran Dolog, taman Undaan, serta taman di Bawean, dan di beberapa tempat
lainnya yang dulunya mati sekarang tiap malam dipenuhi dengan warga Surabaya.
Selain itu Risma juga berjasa membangun pedestrian bagi pejalan kaki dengan
konsep modern di sepanjang jalan Basuki Rahmat yang kemudian dilanjutkan hingga
jalan Tunjungan, Blauran, dan Panglima Sudirman.
Dapat kita perhatikan bahwa seorang yang ahli tata lingkungan
kota, berpengaruh besar terhadap selain lingkungannya sendiri juga pandangan
masyarakat sekitarnya. Sekali lagi saya katakan lingkungan yang baik
menghasilkan masyarakat yang baik. Ini merupakan hubungan timbal-balik antara
lingkungan-masyarakat. Dan Surabaya membuktikan bahwa masyarakatnya ingin agar
kotanya menjadi lebih baik dengan memilih seorang ahli tata lingkungan kota
menjadi pemimpinnya. Masih ingatkah anda, bahwa pada tahun 2012 Kota Surabaya
mendapatkan penghargaan sebagai kota berwawasan lingkungan terbaik se-Asia Pasifik oleh organisasi
internasional Citynet. Penghargaan tersebut seakan melengkapi penghargaan
sebelumnya yakni Kota Surabaya sebagai peraih Piala Adipura Kencana. Adipura merupakan penghargaan lingkungan
hidup untuk kota di Indonesia
yang dinilai bersih teduh (clean and green city) dengan menerapkan
prinsip-prinsip Good Governance. Kerja keras Ibu Tri Rismaharini dalam menyulap lingkungan kotanya
menjadi lebih baik sungguh membuat iri kota/kabupaten lainnya.
Berbanding terbalik dengan
lingkungan Surabaya, di desa saya di Antirogo, Jember, kalau anda pernah ke
sana, anda akan melihat sungai berwarna pekat kecoklatan
yang dihiasi dengan plastik-plastik terapung, perkakas penyok, bangkai kucing dengan
perut gembung, atau lalat hijau mengelilingi sampah busuk. Oleh warga sekitar
hal ini amat biasa bahkan bagus untuk dinikmati. Teramat sederhana buat jadi
pertimbangan, teramat sepele buat jadi pikiran. Padahal, dulu waktu masih
kanak-kanak saya dan para tetangga sebaya saya sering sekali mandi di sungai
itu. Kini tidak lagi. Sungai tersebut menjadi tempat pembuangan sampah favorit
bagi warga sekitar. Inikah yang disebut lingkungan? Sungguh ironis.
Tetapi hal tersebut bukanlah yang
paling mengerikan bagi saya. Masih ada yang lebih buruk daripada lingkungan
kotor, yaitu lingkungan yang mengancam nyawa. Saya sangat bersyukur karena
lahir dan besar di Indonesia. Sedangkan saudara-saudara saya yang lahir dan
besar di negara-negara konflik seperti Palestina maupun Suriah, mungkin akan
tertawa melihat saya mengeluh tentang lingkungan. Mereka memikirkan lebih dari
itu, keselamatan jiwa raga diri dan keluarga mereka terancam tiap menitnya.
Apabila yang anda inginkan adalah
lingkungan yang “indah” bahkan berpikir hingga ke alam terliar anda, mungkin
surga lah satu-satunya tempat. Dan jika sekali lagi anda ditanya, apa itu
lingkungan? Hanya anda dan Tuhan yang bisa menjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar