Oleh:
Pristiyono
Setiap
kebudayaan pasti memiliki ciri khas yang menjadikannya berbeda dengan
kebudayaan lain. Ada kebudayaan yang sederhana dan sangat rumit. Saking
rumitnya hingga kebudayaan yang ada sulit dipahami oleh orang yang berasal dari
kebudayaan yang berbeda.
Suku
Jawa merupakan salah satu yang memiliki kebudayaan yang rumit. Kita dapat
melihat dengan dihitungnya setiap kejadian ataupun kegiatan yang akan
dilakukan. Mulai dari yang dianggap wah hingga yang remeh temeh, orang Jawa
selalu mengaitkan dengan hitung-hitungan.
Hitung-hitungannya
juga memiliki cara sendiri yang tidak sama dengan kebudayaan lain. Penambahan
hari pasaran menunjukkan bahwa orang Jawa memiliki cara sendiri yang tidak bisa
dihapus oleh kebudayaan lain. Ketika ada hari dari kebudayaan lain, orang Jawa
menjadikannya sebagai pelengkap dalam penambahan hitungan. Sehingga muncul
istilah “dinten pitu pekenan gangsal” (hari tujuh pasaran lima). Dinten pitu
atau hari tujuh terdiri dari senin, selasa dan seterusnya. Sedangkan pekenan
gangsal atau pasaran lima terdiri dari Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Dua
hari tersebut digabung sehingga muncul Senin Pon, Selasa Wage, dan seterusnya.
Selain
itu orang Jawa memang sangat kuat harga dirinya. Hal ini dapat dilihat dengan
adanya penambahan kata Gusti (bagusing ati) pada tiap Tuhan yang dibawa oleh
agama-agama dari jauh. Mulai dari Gusti Budha, Gusti Yesus, hingga Gusti Allah.
Munculnya
agama Islam di Jawa juga memberikan pengaruh yang kuat dalam akulturasi budaya.
Orang Islam dianjurkan untuk memulai membaca Bismillah sebelum melakukan
sesuatu. Terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang baik.
“Tidak
semata-mata seorang hamba membaca Bismillah (sampai akhirnya) melainkan Allah
SWT memerintahkan Malaikat Kirooman-Kaatibiin agar mencatat dalam buku amalnya
empat ratus macam kebaikan” (Kitab Lubabul Hadits Syekh Jalaluddin As-Suyuti)
Melihat
faedahnya, sudah tentu banyak yang mencoba mengamalkan sesuai dengan kemampuan.
Seperti membaca Bismillah tidak semua orang Jawa bisa melafalkan dengan baik
dan benar. Namun mereka mencoba dengan sepenuh jiwa. Pada saat saya masih
kecil, seringkali melihat adanya orang tua yang membaca Semillah, untuk memulai
mengangkat sesuatu yang berat. Semillah yang sebenarnya adalah Bismillah, namun
karena pelafalannya dianggap sulit mereka memodifikasi sesuai dengan apa yang
mereka bisa.
Kata
Semillah merupakan salah satu bukti bahwa kata akan menjadi mantra bila
diucapkan dengan sungguh-sungguh dan mengharap akan ada sesuatu yang berbeda
setelah mengucapkannya. Saya menjadi bertanya, kata yang diucapkan dengan
pelafalan yang salah saja bisa menimbulkan tambahan semangat. Bayangkan bila
kata itu diucapkan dengan lafal yang benar dan hati yang mantab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar