Minggu, 23 Februari 2014

Bismillah


Oleh: Pristiyono
Setiap kebudayaan pasti memiliki ciri khas yang menjadikannya berbeda dengan kebudayaan lain. Ada kebudayaan yang sederhana dan sangat rumit. Saking rumitnya hingga kebudayaan yang ada sulit dipahami oleh orang yang berasal dari kebudayaan yang berbeda.
Suku Jawa merupakan salah satu yang memiliki kebudayaan yang rumit. Kita dapat melihat dengan dihitungnya setiap kejadian ataupun kegiatan yang akan dilakukan. Mulai dari yang dianggap wah hingga yang remeh temeh, orang Jawa selalu mengaitkan dengan hitung-hitungan.
Hitung-hitungannya juga memiliki cara sendiri yang tidak sama dengan kebudayaan lain. Penambahan hari pasaran menunjukkan bahwa orang Jawa memiliki cara sendiri yang tidak bisa dihapus oleh kebudayaan lain. Ketika ada hari dari kebudayaan lain, orang Jawa menjadikannya sebagai pelengkap dalam penambahan hitungan. Sehingga muncul istilah “dinten pitu pekenan gangsal” (hari tujuh pasaran lima). Dinten pitu atau hari tujuh terdiri dari senin, selasa dan seterusnya. Sedangkan pekenan gangsal atau pasaran lima terdiri dari Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Dua hari tersebut digabung sehingga muncul Senin Pon, Selasa Wage, dan seterusnya.
Selain itu orang Jawa memang sangat kuat harga dirinya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya penambahan kata Gusti (bagusing ati) pada tiap Tuhan yang dibawa oleh agama-agama dari jauh. Mulai dari Gusti Budha, Gusti Yesus, hingga Gusti Allah.
Munculnya agama Islam di Jawa juga memberikan pengaruh yang kuat dalam akulturasi budaya. Orang Islam dianjurkan untuk memulai membaca Bismillah sebelum melakukan sesuatu. Terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang baik.
“Tidak semata-mata seorang hamba membaca Bismillah (sampai akhirnya) melainkan Allah SWT memerintahkan Malaikat Kirooman-Kaatibiin agar mencatat dalam buku amalnya empat ratus macam kebaikan” (Kitab Lubabul Hadits Syekh Jalaluddin As-Suyuti)
Melihat faedahnya, sudah tentu banyak yang mencoba mengamalkan sesuai dengan kemampuan. Seperti membaca Bismillah tidak semua orang Jawa bisa melafalkan dengan baik dan benar. Namun mereka mencoba dengan sepenuh jiwa. Pada saat saya masih kecil, seringkali melihat adanya orang tua yang membaca Semillah, untuk memulai mengangkat sesuatu yang berat. Semillah yang sebenarnya adalah Bismillah, namun karena pelafalannya dianggap sulit mereka memodifikasi sesuai dengan apa yang mereka bisa.
Kata Semillah merupakan salah satu bukti bahwa kata akan menjadi mantra bila diucapkan dengan sungguh-sungguh dan mengharap akan ada sesuatu yang berbeda setelah mengucapkannya. Saya menjadi bertanya, kata yang diucapkan dengan pelafalan yang salah saja bisa menimbulkan tambahan semangat. Bayangkan bila kata itu diucapkan dengan lafal yang benar dan hati yang mantab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar