Kamis, 30 Januari 2014

Tentang Mahasiswa dan Presiden yang Berprestasi


Oleh: Rhugandanu

Beberapa hari ini, teman-teman kuliah saya sedang sibuk-sibuknya menyusun jadwal kuliah semester berikutnya. Orang-orang biasa menyebutnya KRS-an. Kita tahu, KRS-an menentukan bagaimana jadwal kuliah yang tepat. Hal ini berhubungan dengan teman-teman dekat kita yang nantinya sekelas, siapa dosen yang akan mengajar, hari dan jam kuliah yang urut, hingga gadis incaran kita nantinya sekelas atau tidak. Ataupun alasan-alasan klasik lainnya. Entah semua itu memang kebiasaan, ikut-ikutan, atau bahkan ideologi, hal itu menjadikan sesuatu yang menarik bagi mahasiswa yang menikmatinya. Biasanya yang merasakan hal tersebut adalah mahasiswa-mahasiswa yang ber-sks tinggi. Namun, ada juga mahasiswa-mahasiswa yang ber-sks non-tinggi, yang kemudian beberapa diantaranya jadi pengeluh bin galau bin misuhi dosen, terhadap KRS-an biasanya tidak peduli-peduli amat, santai berlebih, dan malah malas move on. Suatu hari, ada teman yang setelah mendapat ip kecil-kecilan, kemudian update status facebook, “Tuhan tidak memberikan cobaan melebihi kemampuan umat-Nya, tetapi dosen memberi cobaan melebihi kemampuan mahasiswanya.”. Semoga dia segera diberi hidayah. Tapi, ada juga mereka yang justru hal ini sebagai cambuk untuk mendapat nilai lebih baik di semester berikutnya.
Mahasiswa, kita tahu, merupakan agent of change. Di masa depan, mahasiswa akan menggantikan pihak-pihak lama dalam berbagai bidang. Dengan membawa ide-ide baru nan segar, kita berharap nantinya mahasiswa-mahasiswa yang benar-benar baik bibit, bebet, bobotnya menjadi pemimpin di bidang apapun itu. Bidang politik misalnya, tentu anda tidak berharap dipimpin oleh presiden yang dulunya adalah mahasiswa abal-abal, atau asal ngampus yang penting lulus. Tetapi, mahasiswa yang cemerlang tentunya. Entah itu dulunya ber-ipk 4, aktif di suatu organisasi, atau apapun yang memang mahasiswa berkualitas dengan pertimbangan anda sendiri-sendiri. Toh, pada akhirnya anda juga yang memilih siapa calon presiden nantinya. Nah, apalagi yang hanya lulusan sekolah menengah kemudian nyapres. Mau dibawa kemana negeri ini? Bukannya saya merendahkan lulusan sekolah menengah, tetapi untuk jadi pemimpin negara dan pemerintahan, saya rasa haruslah berpendidikan tinggi. Kecuali jika orang tua anda adalah mantan presiden, hal itu bisa saja terjadi. Bu Mega misalnya. Tetapi jika anda bukan anak siapa-siapa, hanya lulusan sekolah menengah, memaksa diri jadi presiden, ya tidak apa-apa kok. Tidak ada salahnya mencoba, urusan terpilih tidaknya  ya belakangan. Tetapi, saya sarankan jangan. Kecuali memang begitu adanya masih saja memaksa, ya… wani piro?
Bicara tentang presiden, tahun ini adalah tahun pemilu. Selain eksekutif, juga ada pemilihan legislatif. Sekali lagi, anda yang memilih dengan berbagai pertimbangan anda sendiri. Sebagai perbandingan, mulai era Pak Soekarno hingga Pak SBY semuanya memiliki kelebihan masing-masing. Ada yang nasionalis, militer, ilmuwan, hingga kiai. Percaya atau tidak, andalah yang dahulu menentukan mereka menjadi pucuk pimpinan negeri ini. Masing-masing juga memiliki prestasi sendiri-sendiri selama masa kepemimpinannya. Namun, hal-hal yang dilakukan oleh beberapa dari mereka setelah habis masa kepemimpinannya, menurut saya patut untuk dicermati. Pak Habibie lebih sering menjadi narasumber dalam banyak acara talk show di tv. Beliau mungkin yang paling diingat banyak orang adalah karena novel dan filmnya, tentang kehidupannya waktu masih muda dulu yang berkisah tentang cintanya. Pak Soekarno pun demikian Atau Bu Mega yang katanya mau nyapres lagi. Tetapi saya cukup menaruh hormat kepada Pak Jusuf Kalla karena beliau tidak memperlihatkan perangai aneh seorang politikus setelah gagal mencalonkan diri lagi dalam pilpres 2009 lalu. Yang pernah saya baca di koran, beliau memilih bergiat di PMI. Misalnya, aktif meningkatkan cadangan kantong darah di Indonesia untuk pasien rumah sakit dan korban bencana alam. Tahun lalu, beliau juga menyumbang uang dalam jumlah besar melalui Kalla Foundation untuk menggratiskan biaya sekolah bagi anak miskin di wilayah Bone. Hingga akhirnya Pak JK oleh majalah Forbes dicantumkan sebagai dermawan dunia dari Indonesia bersama dengan dermawan-dermawan dari negara lainnya. Saya selalu senang membaca berita tentang orang-orang yang mendapatkan penghargaan karena prestasi mereka. Darinya, kita mendapatkan inspirasi. Beliau membuat kita mampu melihat hal-halbaik di depan sana.
Namun, pemimpin yang paling berprestasi menurut saya adalah Pak SBY. Dari artikel yang pernah saya baca, beliau banyak mendapat penghargaan dari luar negeri. Itu prestasi besar. Terutama di bidang perdamaian, toleransi dan peniadaan konflik etnis. Waktu itu, pendukung maupun pemujanya senang, pengkritiknya tidak setuju. Deplu AS sempat mengeluarkan pernyataan tentang kegagalan pemerintahan Pak SBY dalam urusan toleransi antarumat beragama. Ini sikap yang patut dicermati sungguh-sungguh mengingat AS adalah negara yang oleh pak SBY diakui sebagai tanah air keduanya. Tetapi, mungkin jumlah penghargaan beliau akan bertambah sekiranya padi supertoy, proyek andalan pada periode pertama pemerintahannya, bukan proyek abal-abal. Dalam satu artikel, Franz Magnis-Suseno, pastor yang biasanya lembut menulis surat terbuka yang intinya berisi penolakan kerasnya terhadap penghargaan yang diterima Pak SBY. “Presiden SBY tidak pernah mengeluarkan satu kata pun untuk membela kaum minoritas,” katanya. Kemudian Sekretaris Kabinet Dipo Alam menanggapi protes Magniz dengan menyatakan bahwa penglihatan Romo Magniz dangkal. Itu tanggapan yang membuat pengacara senior Adnan Buyung Nasution berang dan ingin menggamparnya.
Di luar pertikaian mulut di antara yang mendukung dan menolak, saya lebih suka membayangkan Pak SBY menjawab pemberian penghargaan itu, misalnya, dengan mengatakan,” Saya berterima kasih atas penghargaan itu, tetapi saya tidak bisa menerimanya sebelum setiap orang di negeri ini benar-benar menikmati hidup damai. Saya merasa tidak berhak atas pemberian penghargaan ini jika ada satu saja orang di negeri ini tertindas karena keyakinannya.”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar