Oleh: Rhugandanu
Beberapa hari ini, teman-teman kuliah saya sedang
sibuk-sibuknya menyusun jadwal kuliah semester berikutnya. Orang-orang biasa
menyebutnya KRS-an. Kita tahu, KRS-an menentukan bagaimana jadwal kuliah yang tepat.
Hal ini berhubungan dengan teman-teman dekat kita yang nantinya sekelas, siapa dosen yang akan mengajar,
hari dan jam kuliah yang urut, hingga gadis incaran kita nantinya sekelas atau
tidak. Ataupun alasan-alasan klasik lainnya. Entah semua itu memang kebiasaan,
ikut-ikutan, atau bahkan ideologi, hal itu menjadikan sesuatu yang menarik bagi
mahasiswa yang menikmatinya. Biasanya yang merasakan hal tersebut adalah
mahasiswa-mahasiswa yang ber-sks tinggi. Namun, ada juga mahasiswa-mahasiswa
yang ber-sks non-tinggi,
yang kemudian beberapa diantaranya jadi pengeluh bin galau bin misuhi dosen,
terhadap KRS-an biasanya tidak peduli-peduli amat, santai berlebih, dan malah
malas move on. Suatu hari, ada teman yang setelah mendapat ip kecil-kecilan,
kemudian update status facebook, “Tuhan tidak memberikan cobaan melebihi
kemampuan umat-Nya, tetapi dosen memberi cobaan melebihi kemampuan
mahasiswanya.”. Semoga dia segera diberi hidayah. Tapi, ada juga mereka yang
justru hal ini
sebagai cambuk untuk mendapat nilai lebih baik di semester berikutnya.
Mahasiswa, kita tahu, merupakan agent of change. Di
masa depan, mahasiswa akan menggantikan pihak-pihak lama dalam berbagai bidang.
Dengan membawa ide-ide baru nan segar, kita berharap nantinya
mahasiswa-mahasiswa yang benar-benar baik bibit, bebet, bobotnya menjadi
pemimpin di bidang apapun itu. Bidang politik misalnya, tentu anda tidak
berharap dipimpin oleh presiden yang dulunya adalah mahasiswa abal-abal, atau asal ngampus yang
penting lulus. Tetapi, mahasiswa yang cemerlang tentunya. Entah itu dulunya
ber-ipk 4, aktif di suatu organisasi, atau apapun yang memang mahasiswa
berkualitas dengan pertimbangan anda sendiri-sendiri. Toh, pada akhirnya anda
juga yang memilih siapa calon presiden
nantinya. Nah, apalagi yang hanya lulusan
sekolah menengah kemudian nyapres. Mau dibawa kemana negeri ini? Bukannya saya
merendahkan lulusan sekolah menengah, tetapi untuk jadi pemimpin negara dan
pemerintahan, saya rasa haruslah berpendidikan tinggi. Kecuali jika orang tua
anda adalah mantan presiden, hal itu bisa saja terjadi. Bu Mega misalnya.
Tetapi jika anda bukan anak siapa-siapa, hanya lulusan sekolah menengah,
memaksa diri jadi presiden, ya tidak apa-apa kok. Tidak ada salahnya mencoba,
urusan terpilih tidaknya ya belakangan.
Tetapi, saya sarankan jangan. Kecuali memang begitu adanya masih saja memaksa,
ya… wani piro?
Bicara tentang presiden, tahun ini adalah tahun
pemilu. Selain eksekutif, juga ada pemilihan legislatif. Sekali lagi, anda yang
memilih dengan berbagai pertimbangan anda sendiri. Sebagai perbandingan, mulai
era Pak Soekarno hingga Pak SBY semuanya memiliki kelebihan masing-masing. Ada
yang nasionalis, militer, ilmuwan, hingga
kiai. Percaya atau tidak, andalah yang dahulu
menentukan mereka menjadi pucuk pimpinan negeri ini. Masing-masing juga
memiliki prestasi sendiri-sendiri selama masa kepemimpinannya. Namun, hal-hal
yang dilakukan oleh beberapa dari mereka setelah habis masa kepemimpinannya,
menurut saya patut untuk dicermati. Pak Habibie lebih sering menjadi narasumber
dalam banyak acara talk show di tv. Beliau mungkin yang paling diingat banyak
orang adalah karena novel dan filmnya, tentang kehidupannya waktu masih muda
dulu yang berkisah tentang cintanya.
Pak Soekarno pun demikian Atau Bu Mega yang
katanya mau nyapres lagi. Tetapi saya cukup menaruh hormat kepada Pak Jusuf
Kalla karena beliau tidak memperlihatkan perangai aneh seorang politikus
setelah gagal mencalonkan diri lagi dalam pilpres 2009 lalu. Yang pernah saya
baca di koran, beliau memilih bergiat di PMI. Misalnya, aktif meningkatkan
cadangan kantong darah di Indonesia untuk pasien rumah sakit dan korban bencana
alam. Tahun lalu, beliau juga menyumbang uang dalam jumlah besar melalui Kalla
Foundation untuk menggratiskan biaya sekolah bagi anak miskin di wilayah Bone.
Hingga akhirnya Pak JK oleh majalah Forbes dicantumkan sebagai dermawan dunia
dari Indonesia bersama dengan dermawan-dermawan dari negara lainnya. Saya
selalu senang membaca berita tentang orang-orang yang mendapatkan penghargaan
karena prestasi mereka. Darinya, kita mendapatkan inspirasi. Beliau membuat
kita mampu melihat hal-halbaik di depan sana.
Namun, pemimpin yang paling berprestasi menurut saya
adalah Pak SBY. Dari artikel yang pernah saya baca, beliau banyak
mendapat penghargaan dari luar negeri. Itu prestasi besar. Terutama di bidang
perdamaian, toleransi dan peniadaan konflik etnis. Waktu itu, pendukung maupun
pemujanya senang, pengkritiknya tidak setuju. Deplu AS sempat mengeluarkan
pernyataan tentang kegagalan pemerintahan Pak SBY dalam urusan toleransi
antarumat beragama. Ini sikap yang patut dicermati sungguh-sungguh mengingat AS
adalah negara yang oleh pak SBY diakui sebagai tanah air keduanya. Tetapi,
mungkin jumlah penghargaan beliau akan bertambah sekiranya padi supertoy,
proyek andalan pada periode pertama pemerintahannya, bukan proyek abal-abal. Dalam
satu artikel, Franz Magnis-Suseno, pastor yang biasanya lembut menulis surat
terbuka yang intinya berisi penolakan kerasnya terhadap penghargaan yang
diterima Pak SBY. “Presiden SBY tidak pernah mengeluarkan satu kata pun untuk
membela kaum minoritas,” katanya. Kemudian Sekretaris Kabinet Dipo Alam
menanggapi protes Magniz dengan menyatakan bahwa penglihatan Romo Magniz
dangkal. Itu tanggapan yang membuat pengacara senior Adnan Buyung Nasution
berang dan ingin menggamparnya.
Di luar pertikaian mulut di antara yang mendukung
dan menolak, saya lebih suka membayangkan Pak SBY menjawab pemberian
penghargaan itu, misalnya, dengan mengatakan,” Saya berterima kasih atas
penghargaan itu, tetapi saya tidak bisa menerimanya sebelum setiap orang di
negeri ini benar-benar menikmati hidup damai. Saya merasa tidak berhak atas
pemberian penghargaan ini jika ada satu saja orang di negeri ini tertindas
karena keyakinannya.”.